Atas usulan salah seorang teman di forum Lintas Islam agar kami memberikan sedikit pengantar untuk kitab Uqud Al Lujain - yang sedang dipublikasikan di blog Lintas Islam saat ini - dapat dicerna dalam konteks kekinian, maka kami memberikan sedikit pengetahuan yang kami bisa untuk tujuan tersebut. Catatan kami ini hanyalah sebuah pengantar, bukan syarah atau tafsir dari kitab Uqud Al Lujain. Sebaiknya seluruh isi dari kitab Uqud Al Lujain dalam blog ini hanya untuk dijadikan wacana. Untuk mendapatkan syarah atau tafsir yang tepat, kami menyarankan pembaca untuk bertanya kepada ustad atau ulama yang telah diberikan otoritas (ijasah) sanad kitab Uqud Al Lujain.
Seperti umumnya kitab yang ditulis oleh Syekh Nawawi dan ulama Klasik lainnya, struktur penulisannya adalah lebih dulu menguraikan karakter buruk asli manusia, lalu kemudian menyarankan 'pengobatan'-nya. Ini sesuai dengan kejadian asal muasal manusia, di mana malaikat mempertanyakan kepada Allah "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?". Lalu Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama.... (Q.S. 2 : 30-31).
Manusia diciptakan dengan karakter asli bawaaan yang dikenali malaikat sebagai karakter buruk, yaitu 'membuat kerusakan dan menumpahkan darah'. Tetapi dengan pengajaran (pendidikan), manusia dapat mencapai karakter mulia, bahkan lebih mulia dari malaikat. Malaikat memiliki sifat mulia karena Allah memang telah menciptakan mereka hanya untuk memuji dan mensucikan Allah. Sedangkan manusia sejak awalnya diciptakan, telah diuji dengan sifat-sifat buruk. Tetapi bila manusia berhasil melewati ujian tersebut, maka kedudukannya akan lebih mulia dari malaikat. Manusia dapat mencapai kedudukan mulia tersebut dengan belajar, meningkatkan derajat mereka dari 'bodoh' menjadi 'alim'. Oleh karena itu dalam kitab-kitab klasik disebutkan bahwa menuntut ilmu kedudukannya lebih tinggi daripada ibadah ritual ('ibadah yang dilakukan tanpa ilmu, tertolak').
Dalam penyusunan kitab-kitab klasik, umumnya digunakan sistematika sebagai berikut:
Pertama, pengarang kitab klasik menguraikan tentang fadhilah (keutamaan) dari suatu perbuatan mulia dan hukuman dari perbuatan tercela. Seperti dalam kitab Uqud Al Lujain ini, Syekh Nawawi menguraikan keutamaan sikap bersabar atas perlakuan suami/istri dan diperbolehkannya hukuman atas perbuatan tercela. Karena sistem pengajaran di masa lalu menggunakan metode 'Cambuk dan Wortel', maka dalam kitab Uqud tersebut ada disebutkan 'dibolehkan memukul' sebagai 'cambuk', dan besarnya 'pahala bersikap sabar' sebagai 'wortel'. 'Cambuk' dan 'wortel' adalah metode yang digunakan untuk keledai, yaitu belakangnya dicambuk dan di depannya ditaruh wortel agar keledai mau berjalan ke depan. Tetapi di jaman modern ini, di mana manusia 'lebih pintar' atau setidaknya 'sok pintar', maka metode 'cambuk dan wortel' tidak tepat lagi bila digunakan sebagai metode pembelajaran (bisa-bisa terkena pasal KDRT). Istilah 'cambuk dan wortel' diperlembut dengan istilah 'reward and punishment' (hadiah dan hukuman). Maka bab 'diperbolehkan memukul' janganlah ditafsirkan sebagai perintah untuk 'memukul', tetapi harus dicari cara lain sebagai 'punishment' yang terdengar layak untuk masa kini. Misalnya dipisahkan tempat tidur, tidak diajak bicara, distop jatah bulanan (hehehe....), atau punishment lain yang dianggap layak untuk konteks kekinian. Tetapi bila istri memang seseorang yang telah terdidik, maka jangan mencari-cari alasan untuk menerapkan 'punishment'. Sedangkan untuk 'reward', karena manusia masa kini semakin bersikap materialistik, mungkin 'reward' berupa pahala terlalu jauh dari jangkauan. 'Reward' dapat digantikan dengan cincin dan kalung emas atau permata, atau bentuk 'reward' lain yang layak pula dalam konteks kekinian.
Kedua, pengarang menguraikan sifat-sifat buruk asli bawaan manusia. Seperti untuk perempuan, disebutkan bahwa perempuan 'diciptakan dalam keadaan serba kurang akal dan tipis beragama', 'menyukai perhiasan', 'suka memamerkan dandanannya', 'penyebab fitnah dunia', 'berlebihan dalam penggunaan harta', 'Iblis memperindah perempuan yang diperuntukkan bagi orang yang memperhatikannya', dll. Uraian sifat-sifat buruk asli tersebut bukanlah dimaksudkan untuk merendahkan martabat perempuan, tetapi untuk mengenali sifat-sifat buruk asli bawaan perempuan yang dilihat oleh malaikat sebagai karakter buruk manusia. Seperti yang dikatakan oleh seorang motivator terkenal, "Kenalilah kelemahanmu, dan tundukkan!".
Ketiga, pengarang menegaskan fungsi pengajaran (pendidikan). Bila tanggung jawab pengajaran anak diletakkan pada pundak orang tua, dalam kitab ini tanggung jawab pengajaran istri diletakkan pada pundak suami. Bila suami tidak memiliki ilmu, maka ia diwajibkan bertanya kepada ulama. Bila ia tidak memiliki kemampuan untuk bertanya, maka suami diwajibkan mengirim istrinya untuk belajar kepada seorang ulama. Bagaimana bila istri lebih berilmu daripada suami? Berdasarkan keterangan yang kami peroleh, suami dapat bertanya kepada istri, tetapi dengan demikian tanggung jawab suami untuk menuntut ilmu dan memberikan pengajaran tidaklah terhapus. Dalam menjelaskan proses pengajaran ini, pengarang umumnya menggunakan bahasa-bahasa hiperbolik untuk menegaskan keutamaan-keutamaan. Misalnya bahwa 'istri bagaikan budak bagi suaminya'. Istilah tersebut hanyalah ditujukan sebagai penegasan kedudukan suami atas istri, bukan untuk menjadikan istri sebagai budak di rumahnya sendiri. Oleh karena itu, untuk pernyataan-pernyataan yang bersifat hiperbolik, sebaiknya jangan ditafsirkan secara harfiah.
Keempat, pada penutupan kitab, pengarang memberikan contoh-contoh perempuan mulia yang dapat membuat malaikat takjub. Perempuan-perempuan seperti itulah sebaiknya yang dijadikan model, dijadikan idola, dan dijadikan cita-cita bagi para perempuan. Bukan untuk menjustifikasi 'perasaan berkuasa' kaum laki-laki. Sebab ketika mengambil kesimpulan dari bab tersebut, kaum lelaki seringkali berkata: "Tuh, begitu tuh yang namanya wanita sholehah. Mendukung suaminya untuk poligami!!", atau pernyataan yang semacamnya.
Isu Kontemporer
Dalam isu-isu mengenai perempuan, syariat Islam saat ini sedang babak-belur dalam menghadapi isu-isu modernitas yang asalnya dari Barat. Penyebab utama dari masalah ini adalah karena semakin mudahnya manusia-manusia modern mengakses isu-isu seputar agama melalui buku, internet dan media lainnya; lalu menafsirkan sendiri isi dari informasi tersebut tanpa bimbingan seorang guru yang benar-benar paham akan isu-isu tersebut. Di dalam tradisi klasik, ilmu dipelajari melalui sanad dari guru ke murid, lalu dari murid tersebut ke murid pada generasi di bawahnya. Dengan demikian isi dari kitab dapat dipahami sesuai dengan aslinya. Saat murid mengajar, gurunya terus mengawasi, membimbing dan mengoreksi bila muridnya melakukan kesalahan pada saat mengajar. Dengan demikian pergeseran makna dari makna aslinya dapat diminimalisasi.
Ada seorang kenalan dari ormas yang cita-cita utama organisasinya adalah mendirikan kekhalifahan, yang menulis dari sumber - katanya - kitabnya Imam Syafi'i, Al Umm. Ustad saya pernah menjelaskan bahwa para ulama tidak berani mengkaji kitab Al Umm karena ketinggian bahasanya. Tetapi dengan keberaniannya, kenalan tersebut menyajikan hasil elaborasinya dari membaca kitab Al Umm dan mengemukakan kesimpulannya yang sangat jenius: "Bunuhlah semua orang kafir yang engkau temui, sehingga hanya nama Allah yang tegak di muka bumi". Jawaban beliau tersebut dikemukakan untuk menjawab pertanyaan saya: "Apa dalilnya bahwa umat Islam diwajibkan untuk mendirikan kekhalifahan atau negara Islam?".
Dengan yakinnya ia mengatakan: "Itu kata Imam Syafi'i, di kitab Al Umm!", tetapi dalam hati saya berkata: "Itu bukan kata Imam Syafi'i, tetapi kata tukang jagal sapi!".
Kalau ustad saya pernah mengatakan bahwa para ulama saja tidak berani mengkaji kitab Al Umm, lalu kenalan tersebut belajar sanad kitab Al Umm dari siapa? Apakah hanya karena bisa baca tulisan Arab, maka seseorang telah memiliki otoritas untuk melakukan penafsiran terhadap suatu kitab? Lalu orang seperti inikah yang akan kita tunjuk sebagai khalifah? sebagai pemimpin kita? Melamar kerja di salon saja tidak ada yang mau menampung. Nanti bila diperintahkan boss salonnya "potong kupingnya!", bukan rambut di sekitar kuping yang dipotong, tetapi kupingnya yang dipotong. Disuruh "potong tangannya!", bukan diambilnya gunting kuku, tetapi diambilnya kapak untuk memotong tangan. Disuruh "potong lehernya!", diambilnya pedang untuk memenggal leher. CIAAAT!!
Penyebab kedua, adalah akibat digunakannya isu-isu agama untuk tujuan-tujuan sesaat, seperti digunakannya isu-isu agama untuk tujuan-tujuan politik. Misalnya ketika muncul isu mengenai presiden perempuan. Memang benar bahwa dalam syariat, bila perempuan dijadikan pemimpin, maka keberkahan akan diangkat. Lalu cendekiawan-cendekiawan 'Islam Modern' angkat bicara. Untuk menutupi rasa rendah diri mereka atas isu-isu Barat tentang 'kesetaraan gender', mereka membela perempuan untuk diberikan hak yang sama dengan laki-laki. Argumen mereka: "Cut Nyak Din dan Kartini dulu diberikan hak untuk memimpin, walaupun pada saat itu hak-hak perempuan lebih diabaikan dibandingkan dengan jaman sekarang".
Kasus Cut Nyak Din dan Kartini sungguh berbeda dengan isu presiden perempuan masa kini. Saat Cut Nyak Din menjadi pemimpin, ia bertaruh nyawa, meninggalkan istana dan kehilangan hak istimewanya sebagai bangsawan, dan wafat di pembuangan untuk memperjuangkan hak orang-orang tertindas. Perempuan seperti inilah yang dikagumi oleh malaikat. Ia menjadi pemimpin untuk berkorban, untuk kehilangan kenikmatan dunia yang diburu oleh banyak perempuan lainnya. Sedangkan ketika Mrs. M menjadi presiden, jumlah SPBU-nya justru bertambah banyak.
Sementara Kartini harus menjual sepeda dan harta yang dimilikinya. Bukan untuk mendirikan 'Woman Islamic School' atau 'Sekolah Perempuan Islam Terpadu', lalu mengutip biaya sekolah yang tinggi karena merupakan sekolah unggulan. Tetapi ia berkorban untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam mendapatkan pendidikan. Perempuan seperti ini pula yang dikagumi oleh malaikat.
Di sisi lain, kelompok yang memunculkan isu haramnya presiden perempuan, hanya mem-blow up isu tersebut untuk kepentingan politik sesaat. Begitu sang perempuan terpilih menjadi presiden, ia dengan senang hati disandingkan sebagai wakil presiden. Tidak sinkronnya ucapan dan perbuatan inilah yang menjadikan syariat Islam hanyalah sebuah lelucon.
Bila saja perempuan masa kini ada yang memiliki karakter seperti Cut Nyak Din dan Kartini, maka larangan untuk mengangkat pemimpin perempuan tidaklah berlaku lagi. Yang dilarang adalah memilih pemimpin perempuan yang masih memiliki karakter buruk asli bawaan dari lahir. Memang benar bahwa dalam syariat, bila perempuan dijadikan pemimpin, maka keberkahan akan diangkat. Tetapi keberkahan juga akan diangkat dari pemimpin laki-laki, yaitu bila kepemimpinannya dijalankan untuk berbuat maksiat kepada Allah, yaitu tidak digunakan untuk mengembalikan hak-hak kepada yang seharusnya menerima hak tersebut.
Semoga kita mendapatkan petunjuk dalam memahami agama, sehingga dapat selamat baik di dunia maupun di akhirat. Amin.