Ilustrasi Wajah Al Ghazali |
Benar juga dugaan saya... Pada tahun 90-an, saya pernah mengatakan kepada ustad saya yang seorang Muhammadiyah, seorang Doctor lulusan IAIN (almarhum, saat itu beliau masih bergelar S2), bahwa di masa depan Amerika dan orang-orang Barat akan banyak yang memeluk Islam melalui sufi. Beliau membantah prediksi saya tersebut dengan dalih bahwa orang-orang Barat sangat rasional, dan akan lebih menerima Islam melalui pemikiran Islam yang rasional daripada sufi. Kenyataannya, saat ini ilmuwan di Amerika dan Barat mulai meneliti hasil-hasil pemikiran Al Ghazali, terutama dalam kajian bidang psikologi. Bila apa yang dihasilkan oleh pemikiran Al Ghazali dapat dibuktikan secara ilmiah, maka bisa jadi akan terjadi pergeseran teori psikologi dari Sigmund Freud ke Al Ghazali, atau setidaknya akan terdapat dua aliran psikologi yaitu aliran Sigmund Freud dan aliran Al Ghazali.
Seperti telah diketahui oleh para ilmuwan, bahwa Sigmund Freud dan Al Ghazali memiliki teori yang sangat bertentangan seratus delapan puluh derajat. Teori Freud mengatakan bahwa motif dari tindakan manusia adalah untuk memuaskan kebutuhan fisik dan material mereka. Seseorang akan bahagia bila ia dapat mencapai tujuan ini. Sedangkan Al Ghazali dan kaum sufi berpendapat sebaliknya, bahwa manusia akan dapat mencapai kebahagiaan bila ia dapat mengendalikan hasrat untuk memuaskan kebutuhan fisik dan material mereka, yang dalam istilah agama disebut sebagai syahwat. Al Ghazali juga menulis karya yang membahas subyek tentang 'penyakit hati' yang saat ini menjadi penyakit modern, bagaimana mendiagnosa dan mengobatinya. Bila riset di Barat membuktikan bahwa teori Al Ghazali dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan orang-orang Barat secara mayoritas berpindah dari aliran Freud ke aliran Al Ghazali, maka kita akan menyaksikan revolusi psikologi dan kebudayaan di Barat yang lagi-lagi diinspirasikan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam abad pertengahan. Setelah Barat mengalami kebangkitan science, kedokteran, dan ilmu pengetahuan dengan menggali pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh Ibnu Sina, Ar Razi, Ibnu Rusyd dan ilmuwan-ilmuwan Islam dari mazhab Mutazillah dari abad pertengahan, maka di masa depan kemungkinan Barat akan mengalami revolusi kebudayaan setelah menggali pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh Al Ghazali dan ulama-ulama sufi dari abad pertengahan pula.
Sementara mayoritas Muslim yang hidup di negara-negara Muslim maupun di negara-negara sekuler akan selalu menjadi pengekor. Kita menyaksikan bahwa mayoritas muslim saat ini makin berperilaku seperti pengikut aliran Freud karena pengaruh pemikiran Barat yang sangat dominan. Banyak muslim saat ini yang berlomba-lomba dalam memuaskan hasrat fisik dan material, sehingga berbagai cara termasuk cara-cara yang haram pun dilakukan. Kesuksesan seorang muslim tidak lagi dinilai dari seberapa gigih ia mengendalikan hasrat syahwat mereka dan bertanggung jawab secara sosial, tetapi menilainya dari seberapa banyak kebutuhan fisik dan material yang dapat mereka puaskan dari harta yang berhasil mereka kumpulkan. Menjadi suatu pendapat umum saat ini, bahwa orang yang paling banyak memuaskan hasrat fisik dan material adalah orang-orang yang paling bahagia. Padahal orang-orang di Barat sana mulai menyadari bahwa keserakahan mereka dalam memuaskan hasrat fisik dan material adalah sumber dari ketidakbahagiaan. Kesadaran yang sama yang dialami oleh Al Ghazali di dalam film dokumenter Al Ghazali: The Alchemist of Happiness ketika ia meninggalkan rumah, mendermakan sebagian besar hartanya dan mengambil hanya yang cukup untuk kebutuhan pribadinya.
Al Ghazali memang banyak dituduh sebagai penyebab kemunduran science, kedokteran dan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam setelah kritiknya atas filsafat yang digunakan sebagai metodologi dalam mazhab Mutazillah memenangkan hati umat Islam dan mengakibatkan terjadinya penghukuman dan pengusiran (pengasingan) atas ulama-ulama Mutazillah. Ar Razi dihukum dengan cara dipukulkan kepalanya dengan buku hasil karyanya yang mengakibatkannya buta, karena ia dituduh zindiq (sesat) karena mengamalkan filsafat. Perintah penguasa saat itu: "Pukulkan bukunya ke kepalanya sampai bukunya hancur atau kepalanya yang hancur". Ibnu Sina dikejar-kejar, sehingga ia harus menjadi buronan dan berpindah-pindah tempat bersembunyi di rumah sahabat-sahabatnya. Ibnu Rusyd bernasib lebih baik karena ia hanya mengalami hukuman pengasingan. Penghukuman ini muncul akibat fanatisme dan pemahaman kerdil dari mayoritas umat Islam, sesuatu yang sesungguhnya tidak disukai oleh Al Ghazali. Dalam film dokumenter tersebut part 3, Al Ghazali mengatakan: "Bahaya muncul dari mereka yang kurang pengetahuan. Mereka yakin bahkan argumen yang masuk akal dari para filsuf, hanya karena ditulis oleh para filsuf, maka mesti ditolak. Tak peduli dari mana atau siapa ia mendengar argumen ini, karena tak memiliki cahaya pengetahuan, mereka tolak. Kepicikan dan kurangnya pengetahuan membuat mereka menolak segala argumen..... Muslim yang jahil lebih bahaya daripada orang kafir"
Tetapi pemikiran Al Ghazali mengalami nasib yang sama pula. Buku-bukunya dibakar oleh kaum fanatik Mediteranian dari Spanyol sampai Syria. Pemikirannya mulai banyak ditinggalkan setelah munculnya kritik oleh Ibnu Thaimiyah terhadap pemikiran Al Ghazali dan sufi. Ibnu Thaimiyah hidup di masa di mana Islam telah mengalami penurunan. Baghdad yang merupakan ibukota dari kekhalifahan Abbasiyah telah dihancurleburkan oleh pasukan Mongol. Cordoba yang merupakan ibukota dari kekhalifahan Abdurrahman (sisa-sisa Bani Umayyah yang berhasil melarikan diri saat terjadi revolusi Abbassiyah) telah dihancurleburkan pula oleh pasukan Salib. Ibnu Thaimiyah tinggal di Baghdad. Di masa itu, sufi menjadi praktek-praktek keagamaan yang paling banyak dianut oleh mayoritas Muslim (mainstream). Seperti diceritakan oleh Annemarie Schimmel - seorang Doktor dari Jerman yang mendalami tentang subyek sufi - di masa itu anda akan menemukan sufi sebagai mainstream. Anda akan menemukan banyak guru-guru sufi yang menjadi pemimpin-pemimpin umat Islam. Umat Islam telah banyak yang putus asa karena kekalahan yang mengubah status sosial mereka dari kelas yang memimpin menjadi kelas yang dikalahkan, dan para guru sufi mengajarkan bahwa "kita dapat menolong diri sendiri, bila kita mengharapkan cinta dari Allah". Sufi telah memenangkan hati umat Islam, dan pada akhirnya memenangkan hati penguasa Mongol. Mereka memeluk Islam. Dan sufi juga pada akhirnya memenangkan hati Annemarie Schimmel. Ia juga memeluk Islam (hal yang sama terjadi di Indonesia, di mana Sufi juga memenangkan hati penduduk Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia yang berpindah dari agama asli ke Islam jauh lebih cepat daripada di negara Hindustas melalui guru-guru sufi yang berasal dari Yaman. Sementara di negara Hindustan [India, Pakistan dan sekitarnya], hanya lima belas persen penduduk Hindustan yang berpindah dari agama asli ke Islam, walaupun kekhalifahan Islam telah menjejakkan kaki di sana selama lebih dari lima belas tahun).
Menurut Ibnu Thaimiyah, penguasa Mongol yang telah Muslim tersebut, dianggapnya tidak menjalankan syariat-syariat Islam sebagaimana yang dilakukan pada masa-masa ulama Salaf. Praktek-praktek keagamaan baru yang dihasilkan oleh peradaban sufi juga dianggapnya sebagai penyimpangan, yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama Salaf. Sejak Ibnu Thaimiyah lah muncul ide-ide tentang penegakan syariat dan penghapusan praktek-praktek di luar Islam yang murni, dan mengembalikan Islam sebagaimana yang dipraktekkan oleh ulama-ulama Salaf. Oleh karena itu aliran Ibnu Thaimiyah disebut sebagai aliran Salafy. Pada awalnya, ide Ibnu Thaimiyah ini tidak mendapatkan tempat di hati umat Islam.
Ide-ide Ibnu Thaimiyah ini semakin menguat ketika negara-negara Islam dijajah oleh negara-negara Barat dan dipaksakan untuk menerima hukum-hukum yang dipaksakan oleh penguasa-penguasa kafir ini. Murid dari murid dari murid-murid Ibnu Thaimiyah, Jamaludin Al Afghani, meghidupkan ide-ide Ibnu Thaimiyah ini. Selain ide tentang penegakan syariat dan pengecaman terhadap praktek-praktek sufi, Jamaludin Al Afghani juga memunculkan ide tentang kekhalifahan global dan kebutuhan akan pengajaran ilmu-ilmu modern (baca: Barat) untuk bisa mengalahkan Barat. Ide Jamaludin Al Afghani diteruskan oleh muridnya, Muhammad Abduh, selanjutnya dilanjutkan oleh murid dari Muhammad Abduh, Rasyid Ridha. Pada masa Rasyid Ridha ini, ide-ide Salafy semakin berbuah dan berpengaruh besar di dunia Muslim, terutama di negara-negara yang dijajah oleh Barat. Ide Salafy ini dibawa ke Indonesia oleh Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah dan Hasyim Asy'ari yang mendirikan Nahdlatul Ulama. Ada perbedaan penerimaan/penolakan antara Muhammadiyah dan NU dalam hal penerapan syariat dan sufi, tetapi mereka memiliki kesamaan untuk menerapkan metode pengajaran ilmu-ilmu Barat di sekolah-sekolah Islam.
Setelah penjajahan Barat berakhir, banyak dari negara-negara muslim bekas jajahan yang mengadopsi negara sekuler. Di negeri Mesir, aliran Salafy ini melahirkan gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al Banna, sebagai reaksi atas tekanan pemerintahan sekuler Mesir. Selanjutnya nafas Ikhwanul Muslimin ini dibawa ke Indonesia dan kita dapat melihat afiliasi organisasi ini di Indonesia dalam Partai Keadilan Sosial (PKS).
Sementara di Arab Saudi, gerakan Salafy ini dikembangkan oleh murid dari murid dari murid-murid Ibnu Thaimiyah dari jalur lain, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab, yang mendirikan organisasi Salafy, tetapi lebih dikenal oleh umat Islam di luar kelompok mereka sebagai Salafy-Wahabi untuk membedakannya dengan organisasi Salafy lainnya. Jadi kita melihat ada beberapa reinkarnasi dari gerakan Salafy, yaitu Salafy yang lebih memfokuskan pada pendidikan seperti Muhammadiyah dan NU, ada yang memfokuskan pada politik seperti Ikhwanul Muslimin dan PKS, dan ada yang memfokuskan pada kemurnian fiqh dan penegakan negara Islam seperti Salafy-Wahaby. Selain mereka masih ada reinkarnasi dari gerakan Salafy ini di berbagai tempat. Dalam terminologi kajian Islam di Barat, aliran-aliran Islam biasanya dikategorikan menjadi Islam Klasik (yaitu Islamnya para Imam Mazhab dan Sufi) dan Islam Salafy. Istilah Salafy-Wahaby juga digunakan untuk membedakan Salafy-Wahaby dengan Salafy lainnya, mengingat extremisme Salafy-Wahaby dalam aksi mereka terhadap penegakan negara Islam dan pemurnian akidah.
Sementara di Arab Saudi, gerakan Salafy ini dikembangkan oleh murid dari murid dari murid-murid Ibnu Thaimiyah dari jalur lain, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab, yang mendirikan organisasi Salafy, tetapi lebih dikenal oleh umat Islam di luar kelompok mereka sebagai Salafy-Wahabi untuk membedakannya dengan organisasi Salafy lainnya. Jadi kita melihat ada beberapa reinkarnasi dari gerakan Salafy, yaitu Salafy yang lebih memfokuskan pada pendidikan seperti Muhammadiyah dan NU, ada yang memfokuskan pada politik seperti Ikhwanul Muslimin dan PKS, dan ada yang memfokuskan pada kemurnian fiqh dan penegakan negara Islam seperti Salafy-Wahaby. Selain mereka masih ada reinkarnasi dari gerakan Salafy ini di berbagai tempat. Dalam terminologi kajian Islam di Barat, aliran-aliran Islam biasanya dikategorikan menjadi Islam Klasik (yaitu Islamnya para Imam Mazhab dan Sufi) dan Islam Salafy. Istilah Salafy-Wahaby juga digunakan untuk membedakan Salafy-Wahaby dengan Salafy lainnya, mengingat extremisme Salafy-Wahaby dalam aksi mereka terhadap penegakan negara Islam dan pemurnian akidah.
Ada satu lagi kategori Islam lain, yaitu Islam Liberal. Bila gerakan Salafy didasari motif perlawanan terhadap Barat, gerakan Islam Liberal muncul di era di mana penjajahan Barat atas dunia Muslim telah berakhir. Bila dibandingkan gerakan salafy yang memiliki pandangan negative terhadap Barat, Islam Liberal memiliki pandangan positif atas budaya barat. Islam Liberal menggunakan pendekatan "hermeneutic", yaitu metode yang digunakan oleh Barat untuk melakukan penelaahan atas kitab-kitab klasik. Metode ini merupakan pendekatan yang digunakan Kristen di Barat pada masa lalu untuk mengkaji Injil sehingga pemahaman terhadap Injil mengalami modernisasi. Para penggiat Islam Liberal berpendapat, bahwa Islam akan mendapatkan kejayaannya, bila umat Islam mau menelaah kembali kitab suci mereka dan menyesuaikan pemahaman atas kitab suci mereka sesuai dengan perkembangan masyarakat modern.
Mengingat penjajahan Barat atas dunia Islam yang cukup panjang tersebut, maka wajar bahwa pemikiran Islam Klasik dan sufi telah lama ditinggalkan dan pemikiran aliran Islam lainnya menjadi mainstream di jaman modern ini. Menjadi ironis, ketika pemikiran Islam Klasik dan sufi mulai ditinggalkan oleh mainstream dunia Islam, justru di Barat saat ini sedang diteliti dan dikembangkan. Lebih ironis lagi, sejarah pengecaman terhadap ulama Islam oleh ulama-ulama Islam lainnya terulang, walaupun tidak sedahsyat yang terjadi pada ulama-ulama Mutazilah di masa lalu. Pengecaman tersebut bukan lagi suatu kritik, tetapi sudah menjadi 'pembunuhan karakter' dengan mengatakan bahwa sufi adalah sesat, bid'ah, musyrik, khurafat, bukan dari Islam, dan kecaman lainnya. Tidak mustahil bahwa di masa depan Barat kembali mendominasi pemikiran dalam hal kebudayaan yang dikembangkan dari kekayaan intelektual Islam di masa lalu, sementara dunia Islam mulai mempelajari karya intelektual Islam dari Barat seperti yang terjadi dengan science, kedokteran dan ilmu pengetahuan sebelumnya.
by: Lintas Islam
by: Lintas Islam
Temukan artikel lainnya di Lintas Islam Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click Join;
atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori tashawuf /
tokoh
dengan judul Dari Sigmund Freud ke Imam Al Ghazali. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://lintas-islam.blogspot.com/2012/12/dari-sigmund-freud-ke-imam-al-ghazali.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Lintas Islam - Friday, December 14, 2012
Belum ada komentar untuk "Dari Sigmund Freud ke Imam Al Ghazali"
Post a Comment