Islam Untuk Semua Umat

Wafatnya Nabi Muhammad SAW


Ringkasan: Islam berkembang sangat cepat di arena global pada abad ke 7 dan mengubah orang-orang nomaden menjadi penggerak utama dari peradaban dunia. Nabi Muhammad SAW adalah arsitek dari transformasi itu. Kematiannya pada tahun 632 menghadapkan komunitas Islam kepada tantangan besar pertamanya. Kaum Muslim menyambut tantangan ini dengan mendirikan institusi kekhalifahan dan menegaskan kelangsungan sejarah Islam. Negara Islam yang baru lahir, dengan ibukota di Madinah, berhasil mempertahankan diri dari jangkauan predator Kekaisaran Bizantium dan Sassanid. Tetapi keberhasilan itu menabur benih-benih perpecahan di masyarakat. Kekayaan yang direbut dari Persia membawa keserakahan dan nepotisme dan mengakibatkan pembunuhan khalifah ketiga, Utsman bin Affan RA. Khalifah keempat Ali bin Abu Thalib Kwh mencoba untuk membendung gelombang korupsi dan kembali ke kemurnian asli dari iman, tetapi ia tersapu oleh angin puyuh yang diciptakan oleh pembunuhan Utsman RA. Dengan kematian Ali Kwh, tirai masa keimanan dalam sejarah Islam telah diturunkan.

Peradaban diuji dengan adanya krisis sebagaimana seorang individu diuji dengan kesulitan. Ini adalah saat-saat penting yang menunjukkan wujud asli karakter sebuah peradaban, seperti ujian terhadap individu yang memunculkan wujud asli dari karakter individu tersebut. Peradaban besar menghadapi tantangan dan mereka tumbuh lebih tangguh setiap kali melewati krisis, mengubah kesulitan menjadi peluang. Dalam banyak hal, kejadian ini sama dengan yang dialami oleh individu. Saat-saat kritis dalam sejarah menguji keberanian manusia. Orang-orang besar mengarahkan sejarah sesuai kemauan mereka, sedangkan yang lemah tertelan di masa yang keras.

Ini adalah premis dasar dari artikel ini bahwa dialektika utama dari dunia Islam bersifat internal. Kemenangan dan kesengsaraan terikat erat dengan bagaimana komunitas orang-orang yang beriman telah memegang nilai-nilai transendental yang diajarkan oleh Nabi. Adalah kekompakan atau perpecahan internal komunitas global yang telah menentukan hubungannya dengan takdir. Ketika para pengikut Islam mengikuti perintah Ilahi dari Al-Qur'an dan warisan Nabi, mereka menang. Ketika mereka kehilangan pandangan akan warisan itu, mereka jatuh ke dalam kekacauan dan terpinggirkan oleh sejarah.

Wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah krisis sejarah pertama yang dihadapi oleh masyarakat Islam. Proses di mana masyarakat menghadapi krisis ini telah menentukan kekuatan dan kelemahan mereka pada abad-abad berikutnya. Bentuk bangunan sejarah Islam telah terbentuk pada waktu itu. Wafatnya Nabi telah melahirkan kepribadian yang sangat tinggi dalam proses sejarah seperti Abu Bakar Siddiq RA, Umar ibn Khattab RA, Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abu Thalib Kwh. Apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh para sahabat  ini telah mempengaruhi perjalanan sejarah Islam dalam 1.400 tahun berikutnya.

Nabi adalah sumber dari kehidupan Muslim. Tidak ada orang lain dalam sejarah yang menempati posisi dalam hubungan dengan umatnya dengan penghormatan terhadapnya, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah fokus dari semua aktivitas sosial, spiritual, politik, ekonomi, militer dan peradilan. Beliau adalah pendiri dan arsitek dari komunitas yang baru lahir. Beliau adalah Nabi dan Rasulullah. Ketika beliau wafat, beliau meninggalkan kekosongan yang mustahil untuk diisi oleh orang lain. Warisannya diuji segera setelah kematiannya. Yang dipertaruhkan adalah kelangsungan dari proses sejarah. Nabi telah menyatukan komunitas orang-orang beriman melampaui kesetiaan mereka kepada suku, ras atau kebangsaan. Lem perekat yang telah mengikat proses ini adalah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Sekarang Nabi telah pergi dan tampaknya bahwa kekuatan memecah belah yang telah berhasil diatasi Islam mulai muncul kembali dan mengobrak-abrik komunitas yang baru lahir.

Reaksi pertama atas wafatnya Nabi adalah keterkejutan, tidak percaya dan penyangkalan. Begitu besar cinta para sahabat untuk Nabi bahwa mereka tidak bisa berpisah dengan orang yang mereka cintai. Kehidupan masyarakat begitu terpusat kepada beliau sehingga mereka tidak bisa membayangkan hidup tanpa kehadirannya. Ketika Umar bin Khattab RA mendengar bahwa Nabi telah meninggal, dia begitu putus asa sehingga ia menghunus pedangnya dan menyatakan: "Beberapa orang munafik berdusta bahwa Nabi SAW telah wafat. Demi Allah Aku bersumpah bahwa ia tidak wafat, bahwa ia telah pergi untuk bergabung dengan Tuhannya, seperti nabi-nabi lain sebelumnya. Musa hilang dari umat-Nya selama empat puluh malam dan kembali kepada mereka setelah mereka menyatakan bahwa ia telah wafat. Demi Allah, Nabi Allah akan kembali seperti kembalinya Musa. Barangsiapa berani untuk memperbuat desas-desus palsu tentang kematian Muhammad akan mendapatkan lengan dan kakinya terpotong dengan tangan ini". Orang-orang mendengarkan Umar, terlalu terbius untuk percaya. Bahwa orang yang telah mengubah Arab dari bagian belakang sejarah ke garis depan dari proses sejarah telah wafat. Situasi ini memang serius.

Kekuatan Islam menunjukkan dirinya sendiri di dalam pribadi Abu Bakar RA. Setelah mengkonfirmasi bahwa Nabi memang meninggal, ia memasuki mesjid di mana Umar RA sedang berbicara kepada orang-orang dan membacakan ayat berikut dari Al Qur'an: "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur."(Al Qur'an, 3:144). Seolah-olah orang-orang baru mendengar bagian ini untuk pertama kali, memukul mereka seperti sambaran petir. Umar RA kemudian ketika ia mendengar ayat itu, kakinya gemetar saat ia menyadari bahwa Rasulullah memang telah pergi dari dunia ini. Kematian Nabi telah pasti, sedangkan transendensi (hubungan vertikal kepada) Allah ditegaskan kembali. Peradaban Islam adalah berpusat kepada Allah, bukan berpusat pada manusia. Islam memiliki sauhnya dengan Allah dan FirmanNya. Nabi, sebagai orang yang membawa Firman Ilahi dan memenuhi misi-Nya, telah pergi, tetapi cahaya yang bersinar melaluinya menunjukkan jalan kepada generasi berikutnya. Islam mempertahankan karakter transendennya. Ia menjadikan Islam tetap bisa bertahan tanpa adanya kehadiran fisik Nabi dan menjadikannya sebagai kekuatan dinamis dalam proses sejarah.

Situasi saat itu cair, tidak pasti dan penuh dengan resiko besar. Jenazah Rasul yang memimpin salah satu revolusi spiritual terbesar bagi umat manusia berada di sudut sebuah ruangan kecil. Inilah pria yang telah mengubah masyarakat kesukuan menjadi sebuah komunitas orang-orang beriman dan membuat mereka tuan atas nasib mereka sendiri. Gelombang demi gelombang manusia bergerak melewati jenazah, menangis, sambil menggelengkan kepala, tidak yakin akan masa depan. Mereka sekarang tanpa sauh yang telah mendukung mereka, tanpa pemimpin yang telah memelihara mereka, tanpa guru yang mengajari mereka, tanpa negarawan yang telah memimpin mereka, tanpa Nabi yang membawa pesan transendensi Ilahi.

Proses suksesi dan warisan untuk generasi masa depan dipertaruhkan. Islam telah menetapkan untuk dirinya sendiri misi untuk menciptakan sebuah komunitas global yang memerintahkan apa yang benar, melarang apa yang jahat dan beriman kepada Allah. Bagaimana misi ini harus dipenuhi dalam matriks sejarah tanpa kehadiran fisik Nabi? Bagaimana bangunan komunitas sadar-Allah harus didirikan tanpa arsitek yang telah melahirkannya? Apakah Nabi meninggalkan petunjuk khusus tentang masalah suksesi? Jika tidak, apa hikmah di balik keputusan itu?

Segera setelah kematian Nabi, persaingan muncul mengenai masalah suksesi. Posisi pertama adalah dari kaum Anshar, penduduk Madinah yang telah memberikan perlindungan dan bantuan kepada kaum Muhajirin dari Mekah. Mereka merasa bahwa sebagai tuan rumah yang telah berdiri di sisi Nabi pada waktu yang dibutuhkan, mereka layak menerima estafet kepemimpinan. Minimal, mereka berpendapat bahwa kepemimpinan harus dibagi. Mereka mengusulkan sebuah komite dari dua kaum, terdiri dari satu orang  Muhajirin dan satu orang dari Anshar untuk memimpin masyarakat. Posisi kedua adalah para pendukung Abu Bakar as Shiddiq RA. Mereka mendasarkan posisi mereka pada kenyataan bahwa Nabi, ketika beliau sangat sakit sebelum kematiannya untuk memimpin salat, telah mengajukan Abu Bakar RA sebagai Imam. Abu Bakar RA adalah orang pertama yang menerima Islam dan juga salah satu sahabat terdekat. Hadis-hadis shahih mengkonfirmasi kasih sayang dan penghargaan tertinggi Nabi terhadap Abu Bakar RA. Posisi ketiga adalah dari pendukung Ali bin Abu Thalib Kwh. Ali Kwh adalah sepupu Nabi dan menikah dengan Fatimah Az Zahra, putri tercinta Nabi. Dia adalah pemuda pertama yang memeluk Islam dan Nabi menyebut dirinya sebagai ahli warisnya dan saudaranya. Komunitas Islam mendamaikan dua posisi pertama dalam jam pertama setelah kematian Nabi, tetapi perbedaan pendapat tetap tinggal pada isu ketiga. Perbedaan-perbedaan ini menyebabkan pada tahun-tahun kemudian kepada perpecahan Syiah-Sunni, yang berlalu seperti kesalahan bencana besar sepanjang sejarah Islam. Berulang kekuatan memecah belah dan merusak ini menunjukkan dirinya pada saat-saat kritis seperti pembantaian di Karbala (680), Pertempuran Chaldiran (1517) dan perang Iran-Irak (1979-1987).

Ada hikmah dalam keputusan Nabi untuk menyerahkan masalah suksesi kepada penilaian kolektif masyarakat. Sebuah agama universal harus memiliki validitas untuk semua bangsa dan setiap masa. Ia harus memiliki relevansi dengan orang-orang yang berasal dari abad ke-21 seperti juga dengan mereka yang hidup pada zaman Nabi. Ia harus memiliki makna bagi orang yang paling canggih dan juga bagi orang pedalaman yang hidup di hutan. Hikmah Nabi terletak pada kenyataan bahwa sementara prinsip-prinsip Islam yang dijabarkan telah sempurna dijelaskan di dalam Al Qur'an dan dicontohkan melalui sunnah Nabi, pelaksanaannya pada waktu tertentu dan di lokasi tertentu diserahkan kepada proses sejarah. Dengan kata lain, Islam adalah sebuah agama eksistensial. Realisasinya dan pemenuhannya adalah proses yang kekal dan wajib bagi setiap generasi orang beriman. Pendapat bahwa Nabi telah meninggalkan petunjuk khusus tentang isu suksesi politik tidak memiliki korelasi dengan aspek eksistensial Islam. Namun, tidak semua Muslim memiliki pandangan seperti ini. Posisi Partisan pada isu suksesi mengambil hanya berdasarkan pada hadits-hadits yang mendukung posisi mereka. Tetapi sejarah adalah hakim tanpa ampun. Dengan berlalunya waktu, perbedaan pada masalah suksesi yang diperselisihkan, mengarah kepada pertikaian berulang, pemberontakan, penindasan dan perang sipil.

Didesak oleh para pemimpin masyarakat untuk mencegah perpecahan terbuka, Abu Bakar RA, bersama dengan Umar bin al Khattab RA, menuju ke halaman Bani Saida di mana kaum Anshar mengumpulkan jamaah untuk memilih pemimpin mereka. Salah seorang Anshar menempatkan posisinya demikian: "Kami adalah Anshar - pembantu Allah dan tentara Islam. Anda, Muhajirin adalah hanya sebuah brigade di Angkatan Perang. Meskipun demikian beberapa orang di antara Anda telah bertindak secara ekstrim berusaha untuk menghalangi kami dari kepemimpinan alami kami dan untuk mengabaikan hak kami". Abu Bakar RA berbicara kepada Anshar: "Wahai orang-orang Anshar! Kami, Muhajirin yang pertama menerima Islam. Kami memiliki garis keturunan dan keturunan mulia. Kami adalah yang paling terkemuka dan paling dihormati serta paling banyak di Saudi. Selanjutnya, kami adalah saudara sedarah terdekat Nabi. Alquran sendiri telah memberi kami keistimewaan. Untuk itu Allah SWT berkata, "Pertama dan terbaik adalah Al Muhajirin, kemudian Al Ansar dan kemudian mereka yang mengikuti dua kaum itu dalam kebajikan dan kebenaran." Kemudian mengambil tangan Umar RA dan Abu Ubaida yang duduk di kedua sisinya, Abu Bakar RA berkata, "Siapa pun dari kedua orang ini dapat diterima oleh kita sebagai pemimpin masyarakat Muslim. Pilih siapa saja yang Anda sukai". Pada saat itu Umar RA mengangkat tangan Abu Bakar RA dan berkata, "Wahai Abu Bakar! Bukankah Nabi memerintahkanmu untuk memimpin umat Islam dalam shalat? Engkau, oleh karena itu, penggantinya. Dalam memilih Engkau, kami memilih yang terbaik dari semua yang dikasihi Nabi Allah dan terpercaya ". Ansar dan Muhajirin kemudian melangkah maju dan mengambil sumpah setia (bai'at) kepada Abu Bakar RA.

Demikianlah masyarakat Islam yang baru lahir memutuskan masalah suksesi dan memulai pembangunan bangunan sejarah mereka. Proses ini tidak cukup memuaskan Ali bin Abu Thalib Kwh, Thalhah bin Ubaidallah dan Zubair bin al Awwam. Ali Kwh, yang mewakili keluarga Nabi, sedang sibuk dengan persiapan pemakaman. Thalhah dan Zubair tidak dilibatkan dalam konsultasi awal. Awalnya, Ali Kwh menunda sumpah kesetiaan. Tetapi ketika Abu Sufyan mendekatinya untuk menyatakan dirinya khalifah, Ali Kwh melihat bahaya perpecahan di masyarakat dan menerima kekhalifahan Abu Bakar RA. Menurut Ibnu Khaldun, Ali bin Abu Thalib Kwh menyatakan bai'atnya empat puluh hari setelah kematian Nabi. Menurut Ibnu Katsir, ini terjadi baru setelah kematian Fatimah, enam bulan setelah kematian Nabi. Thalhah bin Ubaidallah  dan Zubair bin al Awwam memberikan mereka bai'at segera sesudahnya.

Para penulis sejarah Syiah tidak menerima versi mayoritas, melainkan mempertahankan bahwa kekhalifahan itu adalah hak Ali Kwh dengan penunjukan dari Nabi. Namun, ada konsensus di antara semua penulis sejarah bahwa semua ketidaksetujuan mengenai isu suksesi tidak terdengar selama masa Abu Bakr RA dan Umar RA dan tidak muncul terbuka ke permukaan sampai kekhalifahan Utsman RA. Jauh kemudian, ketika posisi makin mengeras selama dinasti Umayyah (665-750) dan Abbasiyah (750-1258), bahwa kedua belah pihak mengajukan argumen doktrinal untuk mendukung pendapat partisan pada isu kekhalifahan dan Wilayat/Imamah. Dengan demikian perbedaan Syiah-Sunni bukan didasarkan pada agama atau iman tetapi memiliki asal mereka pada suksesi politik dan sejarah.

Beberapa Sufi menambahkan dimensi lain dalam masalah suksesi. Para Sufi mewakili dimensi spiritual dan esoterik Islam. Pengaruh mereka yang sangat besar sangat mempengaruhi perjalanan sejarah Islam. Dalam visi mereka, spiritualitas manusia berkisar di sekitar seorang Qutub di setiap zaman. Kata Qutub ini berarti poros, tiang, dan pemimpin. Ketika ada seorang Nabi di bumi, ia adalah Qutub tersebut. Dia membersihkan kesadaran kemanusiaan sehingga ia layak menerima Pencerahan Ilahi. Musa adalah Qutub untuk spiritualitas manusia saat dia masih hidup, seperti halnya Daud, Sulaiman, Yusuf dan Isa pada zaman mereka. Selama Muhammad masih hidup, ia adalah tiang spiritual bagi umat manusia. Setelah kematiannya, jubah spiritualitas diteruskan kepada Fatimah, putri Nabi. Setelah Fatimah, jubah diteruskan kepada Ali bin Abu Thalib Kwh. Sebagian besar sufi mengklaim spiritualitas mereka berasal dari Ali Kwh dan berdasarkan kontinuitas, melalui Fatimah dan akhirnya dari Nabi Muhammad SAW. Selama Fatimah masih hidup - para Sufi berpendapat - Ali Kwh tidak bisa memberi bai'at untuk Abu Bakar RA. Baru setelah Fatimah meninggal, enam bulan setelah wafatnya Nabi, Ali Kwh akhirnya memberi bai'at kepada Abu Bakr RA. Menurut pandangan ini, jubah spiritualitas terus tinggal di Ali bin Abu Thalib Kwh, kepada siapa masalah yuridis yang penting dirujuk kepadanya oleh khalifah Abu Bakar RA, Umar RA dan Utsman RA dan bahkan oleh fraksi yang dipimpin oleh Muawiyah.

Dalam memilih Abu Bakar RA, para sahabat telah menetapkan beberapa preseden. Mereka menunjukkan bahwa umat Islam adalah komunitas yang hidup yang mampu mengartikulasikan nasib mereka sendiri melalui proses konsultasi kolektif dalam ketiadaan Nabi. Mereka menetapkan bahwa khalifah, sebagai penguasa temporal masyarakat Islam, harus seorang yang saleh, dapat dipercaya, memiliki pengetahuan, kekuatan, keadilan, integritas dan kebenaran. Masyarakat seperti anak yang baru lahir ini mengambil napas pertama setelah terputus dari tali pusat yang menghubungkan ke orangtua spiritual mereka.

Setelah penetapan kekhalifahan, Abu Bakar RA dihadapkan dengan beberapa krisis. Isu mendesak adalah pengiriman tentara ke utara untuk menghadapi Bizantium. Para Muslim telah menghadapi jalan buntu dengan Bizantium (Rumawi) pada Pertempuran Tabuk dan telah kehilangan pemimpin mereka Zaid bin Haris. Sebuah tindak lanjut ekspedisi defensif telah dimulai oleh Nabi untuk menjaga daerah utara mendekati Madinah. Abu Bakar RA menegaskan keputusan Nabi itu dan mengirimkan sebuah ekspedisi di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Ekspedisi tersebut berhasil dan menunjukkan kekuatan dan kekompakan umat Islam bahkan tanpa adanya Nabi.

Tantangan kedua adalah penolakan suku-suku Arab tertentu untuk membayar zakat. Budaya Arab pra-Islam adalah kesukuan. Banyak dari suku-suku ini enggan menerima Islam pada hari-hari terakhir Nabi. Ketika beliau wafat, mereka melihat kesempatan untuk berhenti membayar kewajiban zakat, yang  disalahpahami oleh mereka sebagai bentuk lain dari perpajakan.

Zakat bukan hanya kewajiban moral dalam Islam, melainkan juga merupakan kewajiban hukum. Ia adalah tindakan untuk kemurnian. Ia dianggap sebagai salah satu dari lima rukun Islam dan merupakan pondasi iman. Dalam Islam, kesejahteraan ekonomi masyarakat adalah sama pentingnya dengan kesejahteraan individu. Tidak ada keimanan manusia yang sempurna kecuali ia menginginkan bagi saudaranya apa yang ia inginkan untuk dirinya sendiri. Islam melarang penimbunan dan mendorong distribusi kekayaan dan investasi. Zakat berfungsi untuk mengedarkan uang dan berfungsi melawan penimbunan. Dimana pun Quran menekankan pendirian shalat, ia juga menekankan pembayaran zakat. Bila Zakat dihapuskan akan menghancurkan fondasi moral negara Islam dan akan menurunkan Islam hanya menjadi ritual keyakinan pribadi dan ketaatan. Abu Bakar RA melakukan aksi polisionil yang keras terhadap penentang zakat. Dia secara pribadi melanjutkan beberapa ekspedisi dan membuat suku-suku yang memberontak tunduk di bawah otoritas negara.

Krisis ketiga yang dihadapi oleh Abu Bakar RA adalah munculnya nabi-nabi palsu. Melihat keberhasilan dan kemakmuran umat Islam, nabi-nabi (dan nabiyah) palsu muncul di seluruh Arab. Agama sampai saat ini bisa dilihat sebagai bisnis yang bagus. Banyak para pemalsu yang melihat bahwa dalam keberhasilan Islam  ada kesempatan untuk mendirikan agama sendiri dan menjadi kaya dalam proses tersebut. Abu Bakar RA menyatakan perang terhadap nabi-nabi palsu tersebut. Dia mengirim ekspedisi melawan sebelas nabi-nabi palsu. Dari jumlah tersebut yang paling terkenal adalah ekspedisi Khalid bin Walid terhadap Musailimah al Kazzab, yang memuncak dalam Pertempuran Yamama. Ekspedisi serupa dikirim ke Yaman, Amman dan Hazifa. Semua ekspedisi berhasil mengatasi nabi-nabi palsu tersebut.

Pada saat kampanye melawan Musailimah al Kazzab, sejumlah besar sahabat Nabi tewas. Banyak dari mereka sebagai hufaz (penghafal Al-Qur'an). Al-Qur'an diwahyukan kepada Nabi sebagai Firman yang diucapkan, yang kemudian dihafal oleh ratusan sahabat. Kemartiran hufaz yang begitu banyak pada Pertempuran Yamama adalah masalah yang mendapat perhatian besar dari para Sahabat. Mengikuti saran dari Umar RA, Abu Bakar RA memerintahkan penulisan Qur'an untuk melestarikannya, seperti yang diwahyukan kepada Nabi, untuk semua generasi yang akan datang. Salinan tulisan pertama dari Alquran  dikenal dengan gelar Mushaf as Siddiqi.

Dalam geopolitik Asia Barat, baik Bizantium maupun Persia tidak bisa mentolerir lahirnya Arab yang bersatu, independen dan kuat. Kedua kekuatan itu telah mendambakan Semenanjung Arab selama berabad-abad. Bangsa Romawi telah menduduki Suriah dan Yordania sementara Persia telah menundukkan Irak, Yaman dan Hijaz. Sekarang elemen geopolitik ditambahkan elemen agama. Nabi Muhammad SAW, dalam pemenuhan misinya sebagai Rasul Allah, telah mengirimkan salam kepada para penguasa dari dua kekuatan dan mengajak mereka untuk menerima Islam. Heraklius, raja Bizantium, telah mengirimkan jawaban yang sopan namun  memerintahkan pasukannya untuk beraksi di perbatasan utara Arab. Khisra, kaisar Persia, telah merobek-robek surat Nabi itu dan telah memerintahkan pasukannya di Yaman untuk bergerak ke Madinah dan menangkap Nabi. Untuk mencegah ambisi Bizantium dan Persia, Nabi telah memulai tindakan defensif ke utara dan timur. Kampanye yang dilakukan oleh Abu Bakar RA terhadap Bizantium dan Persia dengan demikian merupakan kelanjutan dari usaha-usaha yang telah dimulai oleh Nabi sendiri.

Perkembangan politik di Asia Barat mendukung negara Islam yang baru muncul. Persia dalam kekacauan. Telah terjadi pembunuhan dan kekacauan di arena kekaisaran. Sheroya, putra tertua dari Khisra Pervez membunuh ayahnya dan semua saudaranya sendiri dan merebut tahta. Delapan bulan kemudian, Sheroya meninggal secara misterius dan anaknya yang masih bayi dijadikan raja. Anak bayi itu juga tewas dan sejumlah orang istana mengklaim tahta, hanya kemudian untuk dibunuh satu demi satu. Akhirnya, anak muda satu-satunya yang masih hidup dalam dinasti Persia, Yazdgar, dijadikan kaisar dan seorang wanita dari keluarga kerajaan diangkat sebagai bupatinya.

Kelemahan Persia menciptakan peluang militer untuk tetangganya. Heraklius, kaisar Bizantium yang baru, melancarkan serangkaian kampanye (625-635) dan memenangkan kembali sebagian wilayah yang hilang dari pendahulunya karena telah diambil oleh Persia. Pertumbuhan yang sangat cepat dari negara Islam sejak Hijrah (622) telah mencapai perbatasan Sungai Efrat, yang telah ditandai sebagai perbatasan barat daya Kekaisaran Persia. Suku-suku Arab di dekat perbatasan Persia, berpusat di kota al Hirah bergolak. Mereka dalam jangka waktu lama telah menikmati status otonom di bawah perlindungan kerajaan Persia. Tetapi Khisra, raja Persia, telah mencabut status otonomi tersebut dan telah mengubahnya menjadi daerah koloni kekaisaran. Kebencian telah berkembang selama kenaikan pajak. Beberapa orang dari kabilah ini telah memeluk Islam semasa Nabi hidup, tetapi menjadi murtad ketika beliau meninggal. Abu Bakar RA menyadari perkembangan ini. Jadi, ketika Al Muthannah bin Haritsah, kepala klan Bani Shaiban di bagian timur Arab mendekatinya dengan usulan untuk mengajak suku-suku Arab melawan Persia, khalifah setuju. Mengingat pergeseran loyalitas mereka, Abu Bakar RA disarankan Al Muthannah untuk merekrut hanya suku-suku yang sebelumnya tidak murtad.

Sementara itu, Khalid bin Walid telah menyelesaikan operasi melawan Arab murtad di Arab Timur. Abu Bakar RA memerintahkannya untuk bergabung dengan Al Muthannah. Keduanya bersama-sama bergerak ke Irak selatan. Ajakan telah dikirim ke Humuz, gubernur provinsi Persia, mengajaknya untuk menerima Islam dan bergabung dalam misi global. Jika ia menolak, ia diberi alternatif untuk menerima perlindungan dari negara Islam atau perang. Gubernur Humuz menolak semua alternatif dan permusuhan dimulai. Tentara Arab pertama menundukkan Khadima (633) di dekat Kuwait modern. Dari sana, mereka bergerak ke kota pelabuhan Ubullah (Bashrah modern) di dekat mulut Shatt al Arab. Berputar ke utara sepanjang pantai barat Sungai Efrat, pasukan Khalid dengan cepat mengatasi perlawanan Persia di Al Hirah dan Al Anbar. Suku-suku Arab di daerah itu menyambut sesama bangsa Arab tersebut sebagai pembebas dari kekuasaan kekaisaran Persia. Pergerakan Khalid yang sangat cepat telah meninggalkan sisi utara terbuka. Daerah ini, yang disebut Domatul Jandal oleh orang Arab, terletak di dekat pertemuan Suriah dan Irak dan dihuni oleh orang-orang Arab Kristen yang secara terbuka berpihak kepada Bizantium. Setelah menundukkan Domatul Jandal, Khalid dan pasukannya kembali ke Mekah dan melakukan ibadah haji. Ketika Khalild kembali ke medan perang, Abu Bakar RA memerintahkannya ke front Suriah di mana konfrontasi yang sangat menentukan dengan Kekaisaran Bizantium telah bergejolak.

Munculnya negara Arab bersatu dibawah Islam lebih tidak diterima oleh Bizantium daripada Persia. Bizantium telah menyelidiki pertahanan Muslim pada zaman Nabi dalam persiapan akan kemungkinan invasi Arab. Ia berisi ancaman bahwa Nabi telah melakukan kampanye Tabuk. Tekanan Bizantium lanjutan telah mendorong Nabi untuk mengirim sebuah ekspedisi di bawah kepemimpinan Haris bin Zaid. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pertempuran tersebut tidak dimenangkan dan Haris bin Zaid tewas dalam kampanye tersebut. Nabi telah melancarkan kampanye kedua di bawah Usamah bin Zaid, tetapi beliau meninggal sebelum kampanye itu berlangsung.

Abu Bakar RA menegaskan keputusan Nabi untuk mengirim tentara ke perbatasan utara. Petunjuk yang diberikan oleh Abu Bakar RA kepada Usamah bin Zaid, komandan pasukan Muslim, yang patut diperhatikan sebagai kode etik mereka adalah:

Jangan membunuh anak-anak, wanita dan orang tua.
Tidak merugikan orang cacat dan tidak merusak tubuh mereka yang tewas dalam pertempuran.
Jangan merusak tanaman yang hidup dan tidak menebang pohon yang menghasilkan buah.
Jangan tidak jujur dan menyalahgunakan jarahan perang (ghanimah).
Jangan membunuh binatang kecuali diperlukan untuk makanan.

Perintah ini telah dijalankan oleh raja-raja dan tentara yang sama, sebagai basis kitab suci untuk sebuah kode etik Islam selama 1.400 tahun terakhir.

Kampanye di bawah Usamah bin Zaid juga tidak meyakinkan. Ancaman invasi dari utara tumbuh setiap hari ketika Bizantium melakukan persiapan untuk perang. Abu Bakar RA memutuskan untuk mendahului musuh dan memerintahkan invasi Suriah. 27.000 tentara dikumpulkan dan disusun dalam tiga korps di bawah komando Abu Ubaidah bin Jarrah. Abu Ubaidah secara pribadi bertanggung jawab atas pusat korps tentara yang diarahkan ke Suriah. Mendukung dia adalah sebuah korps yang dipimpin oleh Amr bin al As yang diarahkan ke Palestina dan satu lagi dipimpin oleh Shurahbil bin Hasanah diarahkan ke Jordan. Pertempuran awal terjadi di Wadi Araba dan Ghazzah. Tiga korps tentara tersebut kemudian melanjutkan menuju Damaskus. Pasukan Bizantium utama di bawah pimpinan Theodorus, saudara Heraklius Kaisar Byzantium, menghambat kemajuan lebih lanjut tentara Muslim di ngarai sempit antara Gunung Hermon dan Gunung Hawran.

Di sinilah Khalid bin Walid memenangkan salah satu dari kemenangan yang paling mengesankan. Marching cepat ke arah barat dari Irak, Khalid mengatasi perlawanan kecil sepanjang perjalanan. Sesampainya di medan perang, ia bergerak dalam busur membungkus melewati pasukan Bizantium serta divisi Muslim dan menyerang posisi musuh dari belakang sementara divisi utama di bawah pimpinan Abu Ubaidah membuat serangan dari depan. Terkejut, barisan Bizantium tersebar. Para tentara Muslim mengejar Bizantium dan musuh yang mundur menderita korban berat. Damaskus jatuh pada tahun 635. Dalam beberapa bulan, kota-kota Balbak dan Hama juga berada di tangan Muslim.

Heraklius tidak mau melepaskan provinsi strategis Suriah dengan begitu mudahnya. Dia adalah salah satu jenderal yang paling dihormati pada masanya dan telah mengalahkan Persia dalam berbagai pertempuran. Dia membawa tentara baru sebanyak 200.000 tentara dan berbaris ke selatan sepanjang pantai, berharap untuk mencapai Bersyeba dan memotong rute pasokan untuk pasukan muslim. Ketika mendengar pergerakan ini  dari pasukan inteligennya, Khalid membuat busur lebar lain dan bergabung dengan pasukan Amr bin al As, mencapai Bersyeba dan setelah mengumpulkan pasukan tambahan dari garnisun di sana, mereka berbaris ke utara untuk bertemu Heraclius. Kedua pasukan bertemu di Ajnadain di mana Bizantium mengalami kekalahan lain.

Heraclius sekarang dalam posisi militer yang berbahaya. Rute melarikan diri baik ke utara dan selatan terputus. Ia memerintahkan pasukannya untuk berkumpul kembali di tepi Sungai Yarmuk di dekat kota Dir'a. Mendemonstrasikan penguasaan gerakan membungkus yang cepat, Khalid bin Walid melewati garis musuh dan menyerang dari utara sementara Bizantium berhadapan dengan divisi Abu Ubaidah dari selatan. Seakan takdir telah menentukan hal ini, badai pasir yang keras membutakan pasukan Bizantium, sedangkan Arab, yang terbiasa dengan padang pasir, menghadapinya dengan tenang. Perlawanan Bizantium lumpuh.

Pertempuran Yarmuk, pertempuran di tahun 636, adalah salah satu pertempuran yang menentukan dalam sejarah. Ini menandai berakhirnya kekuasaan Bizantium di Asia Barat dan membuka jalan bagi penaklukan Muslim selanjutnya ke Mesir dan Afrika Utara. Abu Bakar RA meninggal beberapa hari setelah Pertempuran Yarmuk. Dia berusia 63 tahun dan kekhalifahan-Nya berlangsung dua tahun tiga bulan.

Abu Bakar RA menyediakan jembatan antara Nabi Muhammad SAW dan sejarah Islam. Tanpa kepemimpinannya, zakat akan hilang sebagai institusi dan sifat agama itu sendiri akan berubah. Dasar hukum negara akan rusak secara serius dan masyarakat akan hancur berantakan. Abu Bakar RA melanjutkan tradisi Nabi, menghindari inovasi (bid'ah), mengatasi perselisihan internal, membentuk aturan hukum, menekan nabi palsu dan berhasil mempertahankan negara yang baru lahir melawan Kekaisaran Bizantium dan Persia. Dia menunjukkan bahwa Muslim adalah sebuah komunitas yang hidup dan dinamis. Di bawah kepemimpinannya, Islam memulai proses sejarahnya setelah kehilangan Nabi, tetapi diinspirasi oleh pesan Al-Qur'an dan Sunnahnya.






Disumbangkan oleh Prof Dr Nazeer Ahmed, PhD

Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com

Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori politik / sejarah dengan judul Wafatnya Nabi Muhammad SAW. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://lintas-islam.blogspot.com/2011/12/wafatnya-nabi-muhammad-saw.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Lintas Islam - Tuesday, December 27, 2011

Belum ada komentar untuk "Wafatnya Nabi Muhammad SAW"