Kaligrafi Allah |
Beriman kepada Qadha dan Qadhar adalah salah satu rukun Iman. Ini mensyaratkan bahwa mengimani qadha dan qadhar adalah bagian utama dari keimanan atau aqidah, di mana ketiadaannya menyebabkan Iman seorang Muslim tidak sempurna.
Qadha dan qadhar tidak disinonimkan secara khusus ke dalam bahasa Indonesia. Keduanya sama-sama disinonimkan sebagai takdir atau disinonimkan secara terpisah dalam kata serapan bahasa Arabnya, qadha dan qadhar.
Perbedaan pokok qadha dan qadhar erat hubungannya dengan masalah waktu. Qadha memiliki pengertian bahwa jalannya peristiwa kehidupan (manusia) telah ditentukan sebelum perbuatan itu dilakukan. Misalnya perbuatan Anda membaca artikel ini telah di-skenariokan oleh Allah jauh sebelum Anda lahir ke dunia ini. Sebaliknya, Qadhar memiliki pengertian bahwa jalannya peristiwa kehidupan (manusia) terjadi akibat dari pilihan yang diambil atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan sebelumnya. Misalnya perbuatan Anda membaca artikel ini adalah akibat dari tindakan-tindakan sebelumnya yang Anda pilih dan lakukan sampai akhirnya Anda sampai kepada artikel ini.
Wacana Qadha dan Qadhar ini telah menjadi polemik di antara ulama-ulama dan mazhab-mazhab dalam Islam. Adalah mazhab Qadhariyah yang pertama kali menantang paham lama dari paham Qadha yang meyakini bahwa takdir manusia telah ditentukan bahkan ketika manusia itu masih dalam kandungan.
Qadhariyah tampil sebagai "Pembela Keadilan Tuhan". Dalam doktrin Qadha, diyakini bahwa manusia telah ditentukan takdirnya oleh Allah untuk masuk surga atau neraka, bahkan sebelum manusia dilahirkan ke dunia. Mazhab Qadhariyah menentang dokrin tersebut dan mempertanyakan di mana letak keadilan Tuhan jika Ia menentukan sekelompok orang untuk masuk surga, sementara menentukan yang lainnya masuk neraka. Manusia diberikan "Free Will" oleh Allah dan diberikan akal untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Bagaimana pilihan manusia menggunakan "Free Will" inilah yang akan menentukan takdir mereka di surga atau neraka - apakah ia memilih perbuatan baik atau buruk. Karena doktrin ini, Qadhariyah disebut kafir oleh pembela doktrin Qadha karena menyatakan bahwa manusia dapat menentukan takdirnya sendiri.
Pada masa pergerakan Qadhariyah, mereka tidak mendapatkan dukungan politik dari penguasa Umayah saat itu bahkan mendapat perlawanan. Doktrin Qadhariyah dikuatirkan oleh penguasa Umayah akan melahirkan pemberontakan. Orang-orang akan berpikir bahwa tragedi Karbala misalnya, bukanlah takdir yang telah ditetapkan Allah sebelumnya, tetapi merupakan kesalahan penguasa Umayah yang dapat dituntut balas. Maka ditangkapilah orang-orang dari mazhab Qadhariyah oleh penguasa Umayah. Musnahlah tunas dari doktrin Qadhariyah pada pergerakan awalnya.
Walaupun perdebatan mengenai Qadha dan Qadhar telah dimulai lebih dari 1400 tahun yang lalu, perbedaan peradaban nyata yang dihasilkan dari penerapan keyakinan tersebut pada dua masyarakat yang berbeda semakin dirasakan pada hari ini. Doktrin Qadhar diadopsi oleh Eropa dan membentuk peradaban Eropa modern, mengeluarkan Eropa dari era kegelapan dan memunculkan gerakan Renaissance. Sementara dunia Islam mengadopsi doktrin Asy'ari (dan Maturidi), suatu doktrin yang lahir sebagai jawaban dari polemik qadha dan qadhar. Suatu doktrin yang seharusnya menghasilkan peradaban yang lebih baik dari peradaban Barat, andai saja dipahami secara benar oleh umat Islam.
Kemunculan Mutazillah dan Imam-imam Tauhid
Walaupun secara organisasi Qadhariyah sudah tidak lagi eksis, tetapi sebagai ide, doktrin Qadhariyah tidaklah ikut mati. Doktrin Qadhariyah muncul kembali bersama dengan kemunculan mazhab Mutazillah. Kali ini Mutazillah mendapat dukungan dari penguasa Abbassiyah yang berhasil menggulingkan dinasti Umayyah dan dijadikan mazhab resmi kekhalifahan Abbassiyah oleh khalifah Al Makmun. Dengan dukungan resmi dari khalifah, Mutazillah menangkapi para ulama yang tidak sejalan dengan pemikiran Mutazillah. Ini menyebabkan berkembangnya kelompok-kelompok perlawanan terhadap mazhab Mutazillah. Oleh karena itu sebaiknya dibedakan antara perlawanan terhadap mazhab Mutazillah yang berlatar belakang politik dan perlawanan yang berlatar belakang keilmuan. Perlawanan terhadap Mutazillah yang berlatar belakang politik tidak menyisakan kebaikan apa pun bagi Mutazillah. Dikatakan, bahwa Mutazilah hanyalah sekte sesat yang harus dimusnahkan dari Islam.
Sedangkan perlawanan yang berlatar belakang keilmuan memberikan ruang untuk pembahasan dan perenungan. Sebagai reaksi perlawanan terhadap doktrin Mutazillah, muncullah ulama-ulama Tauhid yang akhirnya merumuskan pokok-pokok Iman (Tauhid). Yang paling populer di antara mereka adalah Imam Asy'ari dan Imam Maturidi yang menjadi cikal-bakal dari doktrin Ahlussunnah Jamaah. Doktrin Maturidi diadopsi oleh kalangan Hanafiah, sedangkan mazhab Ahlussunnah lainnya mengadopsi doktrin Asy'ari. Ada beberapa perbedaan antara doktrin Asy'ari dan Maturidi, tetapi tidak signifikan untuk dibahas di dalam artikel ini.
Doktrin Asy'ari Menjawab Polemik Qadha dan Qadhar
Imam Asy'ari adalah Imam Tauhid yang secara brilian menjawab polemik qadha dan qadhar. Doktrinnya diterima oleh mayoritas Muslim. Dengan metodologinya pula maka Sufi terintegrasi dengan Islam Klasik (Islam Ortodox bila menggunakan istilah Barat), sehingga Ahlussunnah wal jamaah kadang sering digolongkan sebagai Islam Ortodox (Islam tradisional) dan kadang pula digolongkan sebagai Islam Sufi. Oleh karena itu cukup membingungkan bila saat ini ada kelompok pembaharu yang mengaku sebagai Ahlussunnah wal jamaah, tetapi mengatakan bahwa Sufi adalah sesat dan Asy'ari juga sesat. Sesungguhnya ustad-ustad dari kalangan mereka lah yang sesat dan menyesatkan. Metodologi ini akan kita bahas di artikel lain, sehingga kita dapat membedakan metodologi yang digunakan Ahlussunnah wal jamaah dengan Mutazilah.
Kita akan membahas doktrin Asy'ari dalam kaitannya dengan qadha dan qadhar. Doktrin Asy'ari akan dapat dipahami secara benar, bila kita melihat doktrin Asy'ari dalam konsep bahwa waktu adalah paralel, bukan linear. Bila kita yang hidup di jaman modern ini saja masih sulit memahami tentang konsep Relativitas Waktu, apalagi umat Islam yang hidup pada jaman Asy'ari. Sehingga wajar doktrin Asy'ari banyak disalahpahami sebagai bentuk fatalisme, sehingga Asy'ari dan berikutnya Al Ghazali sering dituduh sebagai penyebab kejumudan (kemunduran) dalam peradaban Islam. Manusia baru mengenal konsep Relativitas Waktu setelah Einstein mengeluarkan teorinya tentang Relativitas Waktu. Semoga apa yang penulis ungkapkan tentang doktrin Asy'ari ini merupakan ungkapan yang benar dari doktrin Asy'ari tentang qadha dan qadhar.
Menurut Asy'ari, doktrin qadhar dari Mutazilah dan lawannya doktrin qadha menempatkan proses penentuan qadha dan qadhar (takdir) dalam waktu yang linear. Lihat gambar berikut untuk lebih mudah memahami pengertian tentang waktu linear:
Dalam model waktu linear, kehidupan manusia misalkan dimulai pada t=0. Dengan berjalannya waktu, manusia memasuki masa kini (t=1) dan masa sebelumnya (t=0) menjadi masa lalu. Pada saat manusia berada di t=0, ia tidak mengetahui apa yang akan terjadi di t=1 apalagi di t=2. Pada saat di t=1, ia baru mengetahui apa yang telah terjadi di t=0, tetapi tidak mengetahui apa yang akan terjadi di t=2. Setelah melanjutkan kehidupan berikutnya, ia baru mengetahui apa yang terjadi di t=2 dan kehidupan di t=1 - nya menjadi masa lalu.
Asy'ari mengatakan bahwa waktu linear adalah miliknya manusia. Sedangkan Allah tidak hidup dengan dibatasi oleh waktu. Lihat gambar di bawah ini sebagai model waktu bagi Allah:
Untuk mempermudah ilustrasi, gunakan benda seperti pulpen dan taruh di depan mata Anda. Lingkaran pulpen tersebut akan membentuk lingkaran seperti lingkaran berwarna biru pada gambar. Jika Anda putar pulpen tersebut, maka masa lalu, masa kini dan masa depan akan berhimpit. Ini yang disebut bahwa waktu adalah paralel. Dalam dimensi waktu Allah, tidak ada yang namanya masa lalu, masa kini dan masa depan. Karena Allah tidak dibatasi oleh waktu, Ilmu Allah meliputi masa lalu, masa kini dan masa depan. Allah mengetahui apa yang terjadi, telah terjadi dan akan terjadi pada waktu yang bersamaan.
Dalam model Relativitas Waktu Einstein, paralelnya waktu telah dapat dijelaskan secara rasional. Hanya saja Einstein tidak menyebutkan bahwa hidup dalam waktu yang paralel hanya dapat dilakukan oleh Allah. Ia menyebutkan bahwa obyek yang bergerak dengan kecepatan cahaya (nur) dapat melakukan perjalanan melintas waktu. Berarti mungkin pula malaikat yang wujudnya Nur (cahaya) dapat pula melakukan perjalanan melintas waktu. Pada saat Isra' Mi'raj, diceritakan bahwa nabi Muhammad SAW menaiki malaikat Bouraq. Dalam perjalanan tersebut, nabi diperlihatkan kehidupan setelah hari kiamat (akhirat) mengenai manusia-manusia yang menjalani siksa neraka dan diganjar kenikmatan di surga. Bila menggunakan model waktu linear, maka akan disimpulkan bahwa siksa neraka dan balasan kebaikan di surga sudah berlangsung di belahan dunia lain pada masa hidup nabi (bersamaan waktunya). Padahal semua ayat dan keterangan teks-teks agama menegaskan bahwa siksa neraka dan balasan kebaikan di surga baru diselenggarakan setelah terjadinya kiamat. Ini berarti besar kemungkinan bahwa nabi Muhammad SAW pada saat itu telah melakukan perjalanan melintas waktu ke masa depan, ke masa di mana kiamat telah terjadi dan kehidupan neraka dan surga telah berjalan.
Berikut ini adalah hadits shahih yang bercerita tentang takdir: "Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata: Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Allah yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga." (Bukhari no. 3208, Muslim no. 2643)
Bila hadits tersebut ditempatkan pada waktu yang linear, maka akan disimpulkan bahwa takdir manusia (Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagia) telah dituliskan di dalam Lauful Mahfudz sejak manusia masih di dalam kandungan. Frase kedua dari hadits tersebut juga seringkali menimbulkan protes dari kaum murtadun-kafirun bahwa Tuhan-nya orang Islam adalah kejam, karena menyebabkan masuk ke neraka orang-orang yang telah melakukan amalan ahli surga dan sebaliknya. Karena hadits ini pula maka umat Islam dianggap menganut paham fatalisme.
Tetapi bila ditempatkan pada waktu yang paralel, apakah yang sesungguhnya ditulis pada kitab Lauful Mahfudz? Apakah takdir manusia yang belum terjadi di masa depan atau takdir manusia yang telah terjadi di masa depan? Pada dunia yang paralel, masa lalu, masa kini dan masa depan adalah berhimpit. Atau dengan kata lain, Allah dan malaikat telah mengetahui akhir kesudahan seorang manusia bahkan pada saat ia belum dilahirkan ke dunia. Mungkin saja bahwa kitab Lauful Mahfudz adalah kitab yang akan kita terima nanti di akhirat, yaitu kitab yang mencatat semua amal kita di dunia. Dan dalam dunia yang paralel, apa yang akan terjadi pada kehidupan seorang manusia di masa depan bukanlah suatu rahasia lagi.
Asy'ari juga melahirkan konsep tentang "Kasab". Konsep "Kasab" ini membingungkan orang-orang pada masanya, sehingga kata "Kasab" sering digunakan sebagai anekdot: "Konsep kamu serumit konsep Kasab-nya Asy'ari". Memang akan jadi membingungkan bila kita menempatkannya pada waktu yang linear. Kasab adalah doktrin Asy'ari yang mengatakan bahwa manusia tidaklah dapat membuat perbuatan (amal). Perbuatan yang dilakukan manusia adalah karena adanya izin dari Allah. Allah lah yang membuat perbuatan dan membuat kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya suatu perbuatan. Kasab dapat terjadi akibat adanya Iradah dan Qudrah. Iradah adalah free will (kehendak, ikhtiar, usaha), sedangkan Qudrah adalah ketetapan Allah dan Asy'ari menempatkan Qudrah di atas Iradah. Iradah adalah sebab terwujudnya Iradah, tetapi Qudrah saja tanpa didahului oleh Iradah dapat menyebabkan terjadinya kasab. Misalnya seseorang tidak akan punya anak bila tidak melakukan hubungan suami-isteri. Tetapi orang yang melakukan hubungan suami-isteri belum tentu punya anak bila tidak ada Qudrah dari Allah. Sedangkan yang terjadi pada Maryam, ia dapat memiliki anak tanpa berhubungan dengan lelaki mana pun karena Qudrah tidak mewajibkan adanya Iradah. Menurut doktrin qadha, mereka berpendapat bahwa memiliki anak adalah takdir (qudrah) yang telah ditetapkan oleh Allah atas dirinya sejak ia masih di dalam kandungan. Sedangkan pada doktrin Mutazilah, seseorang memiliki anak karena ia melakukan hubungan suami-isteri (hubungan sebab-akibat).
Para penganut paham qadha berpendapat bahwa amal manusia menjadi wujud adalah akibat adanya Qudrah (ketetapan Allah) yang ditulis sejak manusia masih di dalam kandungan. Penganut paham Mutazilah berpendapat bahwa amal manusia adalah akibat adanya Iradah (ikhtiar manusia), sehingga kehidupan manusia bersifat mekanistik. Kaum Mutazilah berpendapat bahwa Allah tidak mengurusi urusan parsial, hanya sebatas menciptakan manusia. Selanjutnya iradah manusia yang menentukan amal dari manusia dan Allah akan mengganjar perbuatan baik mereka dengan pahala dan perbuatan jahat dengan dosa. Sedangkan Asy'ari berpendapat bahwa waktu dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang terkecil sebagaimana atom, dan dalam waktu-waktu yang terkecil tersebut Allah berperan dalam menentukan takdir manusia melalui proses "Kasab". Dengan demikian, Asy'ari menolak doktrin qadha bahwa takdir telah ditentukan Allah sejak manusia masih dalam kandungan, dan menolak doktrin Mutazilah bahwa kuasa Allah tidak berperan dalam proses kehidupan manusia. Seringkali manusia menginginkan sesuatu (iradah) tetapi tidak dapat terwujud (qudrah), sementara manusia lain menginginkan sesuatu yang mustahil bagi dirinya tetapi dapat terwujud dengan izin Allah. Asy'ari menolak doktrin Mutazilah bahwa iradah manusialah yang menentukan seseorang masuk surga atau neraka. Sementara Asy'ari juga menolak doktrin qadha bahwa seseorang telah ditentukan tempat akhirnya di neraka atau surga sejak manusia masih di dalam kandungan. Tetapi karena Asy'ari menempatkan qudrah di atas iradah, banyak orang yang salah berpendapat bahwa doktrin Asy'ari adalah doktrin yang membela pendapat qadha yang merupakan paham fatalisme dan dituduh sebagai penyebab kemunduran berpikir dalam dunia Islam.
Mengenai protes kaum murtadun-kafirun atas frase kedua dari hadits di atas yang menuduh bahwa Allah adalah kejam karena memasukkan ke neraka orang-orang yang melakukan amal ahli surga dan sebaliknya, itu adalah merupakan ungkapan sikap manusia-manusia yang sombong dan kesombongan adalah sikap yang menjadikan Iblis menjadi kafir dan terkutuk. Allah Maha Berkuasa atas makhluknya. Rabiah menyikapi kemahakuasaan Allah tersebut dengan ucapannya, "Jika Allah memasukkan aku ke dalam neraka, aku ridha". Rabiah mengatakan bahwa tanpa adanya ganjaran surga, manusia sudah selayaknya beribadah kepada Allah karena Allah telah memberikan kebaikan kepada manusia yang tidak dapat dibayar dengan ibadah mereka kepada Allah.
Di jaman nabi Musa, ada seorang alim yang telah menghabiskan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan kemaksiatan, sehingga Allah mengirim malaikat untuk menyampaikan kabar gembira kepadanya. Malaikat berkata, "Allah mengutus kami untuk menyampaikan bahwa engkau akan diganjar dengan surga, tetapi Allah bertanya apakah engkau ingin masuk surga karena amalmu atau karena ridha Allah?"
Orang alim tersebut menjawab, "Aku ingin masuk surga karena amalku,"
Malaikat berkata, "Kalau begitu engkau masuk neraka karena engkau beribadah dengan nafas dari Allah, tangan dari Allah, kaki dari Allah, mulut dari Allah. Hanya Allah lah yang dapat masuk surga karena amalmu ada karena Dia"
Orang alim tersebut menyadari kekhilafannya, "Kalau begitu, aku ingin masuk surga karena ridha Allah"
Malaikat berkata, "Masuklah engkau ke dalam surga karena ridha Allah"
Menggunakan doktrin kasab Asy'ari, dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin seseorang masuk surga bila tidak melakukan ibadah kepada Allah dan meninggalkan larangannya. Tetapi dengan melakukan ibadah dan meninggalkan larangannya tidak berarti orang tersebut pasti masuk surga. Itu tergantung ridha Allah. Sayangnya, banyak muslim masa kini yang mensalahtafsirkan doktrin tersebut dengan mengatakan "Masuk surga itu bukan karena amal, tetapi karena ridha Allah. Ustad belum tentu masuk surga dan koruptor belum tentu masuk neraka. Semua terserah Allah". Untuk mendapatkan ridha Allah adalah merupakan suatu kepastian sekaligus sebuah misteri, hanya niat baik dan luruslah yang dapat mengarahkan manusia pada pengertian yang merupakannya sebaik-baiknya pengertian.
Orang sakit diwajibkan untuk berikhtiar mencari kesembuhan, tetapi tidak wajib orang yang berikhtiar mendapatkan kesembuhan. Ada yang telah menghabiskan puluhan bahkan jutaan rupiah untuk pengobatan tetapi tidak kunjung mendapatkan kesembuhan, tetapi ada yang hanya dengan air yang dibacakan doa mendapatkan kesembuhan. Mencari nafkah adalah wajib, tetapi tidak wajib orang yang bekerja lebih keras atau lebih cerdas mendapatkan penghasilan yang lebih banyak. Ada orang yang berpendidikan tinggi bekerja sampai kepala menjadi kaki dan kaki menjadi kepala, tetapi penghasilannya kalah banyak dengan orang yang berpendidikan lebih rendah dan bekerja biasa-biasa saja.
Oleh karena itu kita dapat menyaksikan perbedaan yang nyata antara sikap orang-orang yang beriman dengan orang-orang yang ingkar seperti Qarun dan Fir'aun. Orang-orang yang ingkar seperti Qarun dan Fir'aun jika diberikan kelebihan oleh Allah, mereka akan lupa dan berkata bahwa apa yang diperolehnya adalah karena kecerdasannya, kerja kerasnya, filosofi hidupnya, atau sejenisnya. "Karun berkata: 'Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku'. (Al Qashash:78﴿. Atau seperti orang-orang Yahudi yang bila mendapat kesulitan selalu melemparkan kesalahan kepada nabi Musa, tetapi bila mendapatkan nikmat mereka memuji diri mereka sendiri: "Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: 'Itu adalah karena (usaha) kami'. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (Q.S. Al A'raf:131﴿. Sedikit pun manusia dari golongan mereka tidak menyadari bahwa nikmat yang mereka peroleh adalah ujian dari Allah SWT: "Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: 'Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku'. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui." (Q.S. Az Zumar:49﴿
Sedangkan orang-orang yang beriman, menyadari bahwa segala nikmat yang diberikan Allah kepada mereka adalah sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Semakin banyak manusia diberi nikmat, semakin besar tanggung jawab mereka nanti di akhirat. Seperti semakin banyak manusia diberikan nikmat harta, semakin lama mereka menunggu untuk masuk surga karena terlalu lama harus mempertanggungjawabkan dari mana harta mereka diperoleh dan ke mana harta mereka dibelanjakan pada saat hisab. Dari sepuluh sahabat Rasululllah yang dijamin masuk surga, adalah Abdurrahman bin Auf yang paling akhir masuk surga dan bertemu Rasulullah karena di antara para sahabat ialah yang paling banyak dianugerahi kekayaan. Abdurrahman bin Auf bertanya kepada Rasulullah, apa yang harus ia lakukan agar dapat mempercepat waktu menunggu tersebut. Rasulullah meminta beliau untuk menyumbangkan semua hartanya dan saran itu dilakukannya. Waktu yang diperlukan Abdurrahman bin Auf untuk bertemu Rasulullah adalah 500 tahun dan beliau mendatangi Rasulullah dengan merangkak. Abdurrahman bin Auf adalah sahabat Rasulullah, bagaimana dengan kita yang jauh dari Rasulullah? Berapa ratus atau ribu tahun yang kita butuhkan untuk dapat bertemu Rasululllah? Ilustrasi ini bukan penulis maksudkan untuk melemahkan semangat kita dalam melakukan kebaikan dan menjauhi larangan-Nya, tetapi justru untuk menjadi cambuk dalam beribadah kepada-Nya, agar jangan melihat hasil yang diperoleh di dunia dari segala ikhtiar yang telah kita lakukan untuk beribadah kepada-Nya. Orang-orang yang beriman harus berhusnuzon kepada Allah, karena apa pun posisi kita saat ini - miskin atau kaya, cerdas atau bodoh, sehat atau sakit, muda atau tua, dianugerahi keturunan atau mandul, dst - masing-masing memiliki tanggung jawab, kenikmatan dan beban yang insyaallah sama kedudukannya di mata Allah.
Manusia hanya diberikan kewajiban untuk berikhtiar, sedangkan hasil akhir adalah bergantung kepada kehendak Allah. Tetapi ketergantungan orang-orang beriman bukanlah ketergantungan yang fatalistik. Ketergantungan orang-orang beriman kepada Allah adalah ketergantungan yang progressif dan kreatif. Menjadi orang beriman tidaklah cukup dengan menyadur banyak ayat dan banyak hadits, lalu merasa menjadi Muslim yang paling sesuai dengan Qur'an dan Sunnah Rasul. Tetapi menjadi orang beriman juga memerlukan usaha-usaha untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik, tanpa itikad untuk menjadi pesaing Allah. Itulah semangat dari doktrin Asy'ari yang dapat penulis pahami.
Ayat berikut dapat menjadi kesimpulan dari pembahasan di atas sebelumnya: "Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (QS. Al-Isro’ 17:13-15)
Temukan artikel lainnya di http://www.lintas-islam.blogspot.com
Untuk bergabung dengan group Lintas Islam, click http://groups.yahoo.com/group/lintas-islam/join; atau kirim email kosong ke alamat: lintas-islam-subscribe@yahoogroups.com
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori akhlak /
aqidah
dengan judul Qadha dan Qadhar. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://lintas-islam.blogspot.com/2012/08/qadha-dan-qadhar.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Lintas Islam - Friday, August 17, 2012
Belum ada komentar untuk "Qadha dan Qadhar"
Post a Comment