عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : قَالَ: اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي، شَهَادَةً، فِي سَبِيلِكَ، وَاجْعَلْ مَوْتِي، فِي بَلَدِ رَسُولِكَ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (صحيح البخاري)
Dari Zeyd bin Aslam, dari ayahnya, dari Umar Ra berdoa: “Wahai Allah, berilah aku mati syahid di jalan Mu (SWT), di kota Rasul Mu (SWT) (Madinah kota Nabi) Shallallah alayhi wa sallam” (Shahih Bukhari)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي هَذَا الشَّهْرِ اْلعَظِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang Maha membangkitkan jiwa dengan keluhuran, dan tiada hal yang lebih luhur dari keridhaan Allah subhanahu wata’ala, hal itulah yang paling luhur dan hal itu disimpan oleh Allah subhanahu wata’ala pada sosok makhluk yang paling diridhai Allah, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Keridhaan Allah subhanahu wata’ala tersimpan pada setiap budi pekerti beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, tersimpan pada setiap ucapan-ucapan dan tuntunan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, kesemua hal itu adalah mutiara ridha Ilahi. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam hadits qudsi riwayat Shahih Al Bukhari, dan diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana ketika penduduk surga dikumpulkan dan Allah subhanahu wata’ala bertanya kepada mereka : “Wahai hamba-hambaKu, maukah kalian Kuberi (kenikmatan) lebih dari semua ini?”, maka penduduk surga berkata : “Wahai Allah, kenikmatan apalagi yang melebihi semua ini, Engkau telah mengampuni dosa-dosa kami dan menjauhkan kami dari api neraka, dan Engkau telah memberikan kepada kami limpahan kenikmatan yang abadi, maka apalagi yang melebihi dari semua ini?!”, lalu Allah subhanahu wata’ala menjawab :
أُحِلُّ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلاَ أَسْخَطُ عَلَيْكُم أَبَداً
“Kuhalalkan (Kuberikan) untuk kalian keridhaanKu, dan Aku tidak akan murka kepada kalian selama-lamanya”
Maka jelaslah bahwa keridahaan Allah subhanahu wata’ala adalah puncak kenikmatan Ilahi yang melebihi segala kenikmatan-kenikmatan di surga, dan hal itu tersimpan pada budi pekerti sayyidina Muhammad rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang terlewati dalam siang dan malam beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam segala hal, yang diantaranya adalah bagaimana adab beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap yang lebih tua, adab beliau terhadap tetangga, kerabat, keluarga, istri, dan anak-anak beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, adab beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang yang dalam kesusahan, adab beliau terhadap ahli kitab (yahudi dan nasrani), dan lain sebagainya. Maka tuntunan-tuntunan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal-hal tersebut adalah merupakan keridhaan Ilahi, alangkah indahnya nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan betapa Maha Indahnya Yang menciptakan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah subhanahu wata’ala. Sebagaimana jiwa-jiwa para sahabat dan seluruh orang-orang yang mulia yang dimuliakan Allah subhanahu wata’ala, yang mana mereka selalu ingin dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik di masa kehidupan mereka di dunia, hingga setelah wafat pun mereka tidak ingin jauh dari nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana riwayat sayyidina Umar bin Khattab yang kita baca, dimana beliau berdoa dengan mengucapkan :
اَللّهُمَّ ارْزُقْنِيْ شَهَادَةً فِيْ سَبِيْلِكَ وَاجْعَلْ مَوْتِيْ فِيْ بَلَدِ رَسُوْلِكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Wahai Allah, anugerahilah aku mati syahid di jalanMu, dan jadikanlah kematianku di negeri (kota) utusanMu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”
Sayyidina Umar memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar meninggal syahid di jalan Allah subhanahu wata’ala, namun permohonan tersebut diiringi dengan permintaan yang lain yaitu meninggal syahid di negeri (kota) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Madinah Al Munawwarah. Padahal seseorang yang mati syahid dimana pun maka akan tetap tergolong ke dalam kumpulan para syuhada’ (orang-orang yang meninggal syahid) dan merupakan kemuliaan dan keluhuran yang sangat besar, namun karena sayyidina Umar bin Khattab tidak ingin jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik di masa hidup beliau atau setelah beliau wafat, sehingga beliau meomohon kepada Allah untuk diwafatkan di negeri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Allah subhanahu wata’ala mengabulkan doa sayyidina Umar bin Khattab, sehingga beliau tidak hanya wafat di kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetapi juga dimakamkan berdampingan dengan sayyidina Abu Bakr As Shiddiq dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam detik-detik akhir kehidupan beliau ketika sakaratul maut, di waktu shalat zhuhur dan dalam riwayat yang lainnya di waktu shalat asar datanglah orang yang akan membunuhnya kemudian langsung menghunuskan pedang ke perut sayyidina Umar bin Khattab, sehingga robeklah perut beliau, dan dalam keadaan demikian lantas beliau meminta susu untuk diminum, sebagaimana hal ini adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sedang sakit dan merasa lemah maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meminta susu dan meminumnya. Dan hal tersebut dapat kita temui dalam kitab-kitab Syamaail Ar Rasuul shallallahu ‘alaihi wasallam, disana disebutkan bahwa diantara minuman-minuman yang disukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah susu, air buah-buahan dan air putih. Dan dijelaskan oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai air buah-buahan atau bisa dinamakan jus dalam kehidupan kita di zaman sekarang. Maka sayyidina Umar bin Khattab Ra dalam keadaan perutnya yang telah terbelah beliau meminta susu kemudian meminumnya, akan tetapi susu itu setelah beliau minum maka tumpah keluar dari bekas luka di perutnya, lalu sayyidina Umar bin Khattab merasa bahwa ia dalam keadaan sakaratul maut, maka sayyidina Umar bin Khattab memerintah putranya untuk menemui sayyidah Aisyah Ra, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta izin kepada sayyidah Aisyah apakah beliau mengizinkan sayyidina Umar untuk dimakamkan dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ketika itu sayyidina Umar Ra berkata kepada putranya untuk menemuia sayyidah Aisyah dan menyampaikan salam kepada beliau dari Umar bin Khattab, dan melarang putranya untuk menyebut dihadapan sayyidah Aisyah dengan sebutan Amir Al mu’minin, karena saat itu beliau menganggap dirinya bukan lagi sebagai amir al mu’minin karena telah mengalami luka yang sangat parah, demikian yang disebutkan dalam riwayat Shahih Al Bukhari. Namun bukan berarti ketika beliau menyandang sebutan sebagai amir al mu’minin hal tersebut membuat beliau bersikap atau merasa sombong atau yang lainnya, namun beliau merasa tidaklah pantas dengan gelar amir al mu’minin untuk beliau ketika keadaan beliau sedang lemah dan sekarat. Maka sayyidina Umar bekata kepada putranya :“Temuilah ummul mu’minin sayyidah Aisyah dan sampaikan kepada beliau bahwa Umar menyampaikan salam kepada beliau dan meminta izin bolehkah ia dimakamkan berdekatan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”, setelah mendengar kabar tersebut sayyidah Aisyah sedih dan menangis karena sayyidina Umar dalam keadaan sakaratul maut. Maka sayyidah Aisyah pun mengizinkan sayyidina Umar bin Khattab untuk dimakamkan berdampingan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun tempat itu sebenarnya sayyidah Aisyah siapkan untuk makam beliau, namun karena amir al mu’minin sayyidina Umar bin Khattab yang meminta maka sayyidah Aisyah mengizinkannya. Kemudian putra sayyidina Umar segera kembali dan telah mendapati ayahnya telah tersengal-sengal dan ia berkata : “Telah diizinkan wahai amir al mu’minin”, maka sayyidina Umar berkata : “Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku dambakan daripada agar aku dimakamkan berdekatan dengan makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” . Demikian kuatnya cinta sayyidina Umar bin Khattab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
by: Lintas Islam
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori hadits
dengan judul Syahid. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://lintas-islam.blogspot.com/2014/12/syahid.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Lintas Islam - Wednesday, December 17, 2014
Belum ada komentar untuk "Syahid"
Post a Comment